Airell Tufliado

Menulis, upaya untuk meninggalkan dunia

Pengangkatan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra

sumber gambar: biografi-tokoh-ternama.blogspot.com

sumber gambar: biografi-tokoh-ternama.blogspot.com

Kisah ini disarikan dari kitab Al-Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir, kejadian setelah wafatnya Rasulullah saw. Pada waktu tengah hari Rasulullah saw. wafat dan ada yang mengatakan bahwa beliau wafat sebelum matahari tergelincir. Wallau a’lam.

Ketika beliau wafat, para sahabat saling berselisih dalam menyikapi kejadian tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah wafat dan ada yang mengatakan bahwa beliau belum wafat. Salim bin Ubaid[i] berangkat menyusul Abu Bakar ash-Shiddiq ra. ke Sanuh untuk memberitakan wafatnya Rasulullah saw. seketika Abu Bakar datang dari rumahnya dan masuk menuju kamar Rasulullah saw. membuka kain yang menutupi wajah Rasulullah saw. Dan menciumnya, maka Abu Bakar yakin bahwa Rasulullah saw. benar-benar telah wafat, setelah itu ia keluar memberitakan kepada manusia dan berpidato di atas mimbar menerangkan bahwa Rasulullah saw. telah wafat. Dengan pidatonya itu dia berhasil menghilangkan perselisihan di antara para sahabat dan mereka akhirnya sepakat menerima apa yang disampaikan oleh Abu Bakar.

Setelah perselisihan mengenai wafatnya Rasulullah saw telah hilang, mulailah peristiwa di Tsaqifah Bani Sa’idah. Di sana sebagian kaum Anshar berkumpul dan berencana memilih pemimpin sebagai khalifah dari kalangan mereka. Maka kalangan Muhajirin bergegas ke Tsaqifah untuk turut andil dalam memilih pemimpin.

Imam Ahmad meriwayatkan hadits yang panjang[ii], dari Ibnu Abbas ra mengisahkan khutbah Jumat Umar bin al-Khaththab ra yang menjelaskan peristiwa pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra sebagai khalifah, pengganti Rasulullah saw. Ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan, Umar berdiri. Setelah memuji Allah ia mulai berbicara, Amma ba’du, wahai saudara-saudara sekalian, aku akan mengatakan sesuatu perkataan yang telah ditentukan oleh Allah bahwa aku akan mengatakannya. Dan aku tidak tahu, namun merasa ajalku telah dekat, maka barangsiapa yang memahami perkataanku dengan baik sampaikanlah kepada orang-orang yang dapat dijumpainya, dan barangsiapa yang tidak memahami perkataanku maka aku tidak halalkan baginya berdusta atas namaku.

Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw dengan kebenaran, dan menurunkan wahyu kepadanya. Di antara ayat yang diturunkan adalah ayat mengenai rajam, dan kita pernah membacanya dan memahaminya, bahkan Rasulullah saw. telah melaksanakan hukum rajam dan kita telah menerapkan hukum ini sepeninggal beliau.

Aku takut kelak akan ada yang berani mengatakan, ‘Kami tidak pernah mendapati masalah rajam tertulis dalam Kitabullah, hingga akhirnya dia tersesat dengan meninggalkan suatu kewajiban yang Allah turunkan. Maka sesungguhnya hukum rajam itu benar-benar ada dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina jika telah menikah baik laki-laki maupun wanita apabila telah jelas bukti-buktinya, atau tanda berupa al-Hablu[iii] maupun berdasarkan pengakuan sendiri.

Ingatlah, kita pernah membaca, “janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian sesungguhnya kalian dianggap kufur jika membenci bapak-bapak kalian.”

Ingatlah! sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Janganlah kalian menyanjung aku sebagaimana Isa bin Maryam disanjung, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, karena itu katakanlah, Hamba Allah dan RasulNya.‘

Sampai kepadaku berita bahwa di antara kalian ada yang mengatakan, ‘Jika Umar telah wafat maka aku akan membai’at si fulan, maka janganlah seseorang terkecoh dan mengatakan, bahwa bai’at Abu Bakar hanyalah kebetulan saja dan kini telah selesai. Ingatlah! Sesungguhnya pengangkatan dirinya benar demikian adanya, namun Allah telah menjaga keburukan terjadi, tidak ada seorang pun di sini di antara kalian yang menyamai kedudukan Abu Bakar yang dipatuhi oleh seluruh manusia, dan sesungguhnya beliau adalah orang yang terbaik di antara kita.

Umar mulai mengisahkan peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah. Ketika Rasulullah saw. wafat, maka Ali, az-Zubair dan orang-orang yang beserta mereka (ahlul bait dan beberapa sahabat ra) tidak ikut sebab kala itu mereka berada di rumah Fathimah. Kaum Anshar tidak seluruhnya berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah bersama kami. Lalu datanglah kaum Muhajirin kepada Abu Bakar, kukatakan padanya, ‘Wahai Abu Bakar mari kita berangkat menuju saudara-saudara kita dari golongan Anshar! Maka kami seluruhnya berangkat menuju mereka dan berpapasan dengan dua orang shalih dari kalangan Anshar menceritakan kepada kami apa yang sedang dibicarakan oleh kaum Anshar, mereka berkata, ‘Hendak ke manakah kalian wahai kaum Muhajirin?’ Aku menjawab, ‘Kami mau menemui saudara-saudara kami kaum Anshar!’ Maka keduanya berkata, ‘Janganlah kalian mendekati mereka tetapi selesaikanlah urusan kalian sendiri.’ Maka aku menjawab, ‘Demi Allah kami akan menemui mereka.’ Maka kami berangkat dan menemui mereka di Tsaqifah Bani Sa’idah, ternyata mereka sedang berkumpul, dan di antara mereka ada seorang yang sedang berselimut. Maka kutanyakan, ‘Siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Sa’ad bin Ubadah.’ Maka kukatakan, ‘Ada apa dengannya?’ Mereka menjawab, ‘Dia sedang sakit.’

Tatkala kami duduk maka berdirilah salah seorang pembicara dari mereka, setelah memuji Allah dia berkata, ‘Amma ba’du, kami adalah kaum Anshar para penolong Allah dan pionir-pionir Islam, dan kalian wahai kaum Muhajirin adalah dari kalangan Nabi kami, dan sesungguhnya telah muncul tanda-tanda dari kalian bahwa kalian akan turut mendominasi kami di sini, di tempat tinggal kami ini dan akan mengambil alih kekuasaan dari kami.’

Ketika ia diam maka aku ingin berbicara, dan aku sebelumnya telah mempersiapkan redaksi yang kuanggap sangat baik dan menakjubkan aku. Aku ingin mengatakannya di hadapan Abu Bakar, dan aku lebih terkesan sedikit lebih keras darinya, maka aku khawatir dia akan mengalah. Namun dia lebih lembut dariku dan lebih disegani. Abu Bakar mencegahku berbicara dan berkata, Tahanlah sebentar!’ Maka aku enggan membuatnya marah, sebab ia lebih berilmu dariku dan lebih disegani, dan demi Allah tidak satupun kalimat yang kupersiapkan dan aku anggap baik kecuali beliau sam-paikan dengan ekspresinya yang begitu baik dan lancar bahkan lebih baik dariku, hingga akhirnya ia diam.’

Kemudian ia berkata, ‘Amma ba’du, apapun mengenai kebaikan yang telah kalian sebutkan, maka benar adanya dan kalianlah orangnya. Namun orang-orang Arab hanya mengenal kabilah ini yakni Quraisy. Secara nasab merekalah yang paling mulia di antara bangsa-bangsa Arab. Demikian pula tempat tinggal mereka yang paling mulia daripada seluruhnya. Karena itu aku rela jika urusan kekhalifahan ini diserahkan kepada salah seorang dari dua lelaki ini, terserah kalian memilih antara keduanya, kemudian dia menarik tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, maka aku tidak sedikitpun merasa benci dengan semua perkataannya kecuali satu hal ini, dan demi Allah jika aku maju dan dipenggal kepalaku namun tidak menanggung beban ini lebih kusukai dari pada aku memimpin orang-orang yang terdapat di dalamnya Abu Bakar, kecuali jika diriku kelak berubah sebelum mati.’

Kemudian salah seorang Anshar berkata, ‘ana juzailuha al-muhakkak wa uzaiquha al-murajjab, dari kami seorang pemimpin dan dari kalian pilihlah seorang pemimpin wahai orang-orang Quraisy’[iv]. Maka mulailah orang-orang mengangkat suara dan timbul keributan, hingga kami mengkhawatirkan terjadinya perselisihan, maka aku katakan, ‘Berikan tanganmu wahai Abu Bakar, maka ia berikan tangannya dan aku segera membai’atnya, maka seluruh Muhajirin turut membai’at, yang kemudian diikuti oleh kaum Anshar, dan kami tinggalkan Sa’ad bin Ubadah, hingga ada yang berkomentar dari mereka tentangnya, Kalian telah membinasakan Sa’ad,’ maka aku sambut, ‘Allah-lah yang telah membinasakan Sa’ad.’

Kemudian Umar melanjutkan kembali pidatonya, ‘Demi Allah, kami tidak pernah menemui perkara yang paling besar dari perkara bai’at terhadap Abu Bakar. Kami sangat takut jika kami tingalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka kembali membuat bai’at. Jika seperti itu kondisinya kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at yang mereka buat yang pasti akan menimbulkan kehancuran, maka barang siapa membai’at seorang amir tanpa musyawarah terlebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang yang mengangkat bai’at terhadapnya, keduanya harus dibunuh’.”

Imam Ahmad menyertakan perkataan imam Malik, “Telah berkata kepadaku Ibnu Syihab dari Urwah bahwa dua orang yang berpapasan dengan kaum Muhajirin tadi adalah Uwaim bin Sa’idah dan Ma’an bin Adi. Ibnu Syihab berkata, ‘Telah berkata kepadaku Sa’id bin Musayyib bahwa yang berkata, ‘ana juzailuha almuhakkak wa uzaiquha al-murajjab’ adalah al-Hubab bin al-Munzir. Dan hadits ini diriwayatkan juga oleh sejumlah ulama hadits dalam kitab-kitab mereka[v] dari banyak jalur di antaranya dari Malik dan Iain-lain dari az-Zuhri.”

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abdullah Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tatkala Rasulullah saw. wafat, orang-orang Anshar berkata, dari kami ada seorang amir dan dari kalian ada seorang amir pula, maka Umar mendatangi mereka dan berkata, ‘Wahai kaum Anshar, bukankah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan Abu Bakar menjadi Imam manusia? Siapa di antara kalian yang mengakui bahwa hatinya lebih mulia daripada Abu Bakar?’ Maka kaum Anshar berkata, ‘Na ‘udzubillah bila kami mengaku lebih mulia dari Abu Bakar.’[vi]

Ibnu Hisyam meriwayatkan, dari Umar bin al-Khaththab semakna dengan riwayat di atas dari jalur lain. Dia berkata, Wahai kaum muslimin sesungguhnya yang paling berhak menggantikan Rasulullah saw. adalah sahabatnya yang menyertainya dalam gua. Dialah Abu Bakar yang selalu terdepan dan paling diutamakan. Kemudian segera kutarik tangannya dan ternyata ada seorang Anshar yang lebih dahulu menariknya dan membaiatnya sebelum aku sempat meraih tangannya. Setelah itu baru aku membaiatnya dengan tanganku yang kemudian diikuti oleh orang ramai.”[vii]

Muhammad bin Sa’ad meriwayatkan kisah yang semakna dengan menyebutkan nama orang Anshar yang pertama kali membai’at Abu Bakar ash-Shiddiq ra. sebelum Umar bin al-Khaththab. Yaitu Basyir bin Sa’ad, ayah an-Nukman bin Basyir.[viii]

Catatan kaki:

[i] Salim bin Ubaid al-Asy’ja’i dari ahli suffah. Lihat biografinya di al-Isobah 3/10.

[ii] Al-Musnad 1/323 Tahqiq Ahmad Syakir.

[iii] hablu yaitu hamil dari hasil zina, dan dalam riwayat Ma’mar berbunyi alhamlu (Fathul Barí 12/148).

[iv] perawi Ishaq bin Isa bertanya kepada Malik, ‘Apa makna ungkapan ‘juzailuha al-muhakkak wa uzaiquha al-murajjab’ dia menjawab, ‘Maksudnya akulah pemimpin yang tertinggi’.

[v] Lihat Shahih al-Bukhari, kitab al-Hudud, bab Rajmul Hubia min az-Zina Idza Ahsanat. Dari hadits Ibnu Abbas, dan lihat Fathul Bari 12/144, Shahih Muslim kitab al-Hudud, hadits no. 1691 secara ringkas dan Sunan al-Kubra karya an-Nasa’i, kitab ar-Rajm 4/274-275.

[vi] Al-Musnad 1/213 tahqiq Ahmad Syakir dan dia berkata, “Sanadnya shahih.”

[vii] Lihat Sirah Ibnu Hisyam 4/412.

[viii] Ath-Thabaqatal-Kubra 3/182 namun riwayat ini mursal.

Tinggalkan komentar

Berteman di medsos

TwitterFacebook