Airell Tufliado

Menulis, upaya untuk meninggalkan dunia

Tidak Ada Ulama Madinah yang Berfatwa Selama Ada Imam Malik di Dalamnya

Imam Malik

Ibnu Anas bin Malik bin ‘Amr, Abu ‘Abdullah al-Humyari al-Asbahi al-Madani
(93  – 179 H)

Seorang perempuan di Madinah meninggal dunia. Ketika seorang ibu yang biasa memandikan jenazah perempuan dipanggil dan mulai memandikan jenazah si mayit tersebut, ia memegang kemaluannya (mayit) sambil berkata, “Sesungguhnya kemaluan ini telah melakukan begini dan begitu. Ia pernah melakukan perbuatan keji.” Perempuan ini menuduh si mayit telah berzina.

Setelah dia berkata demikian, maka tangannya menempel pada kemaluan jenazah perempuan tersebut, tidak bisa dilepas. Kejadian ini akhirnya menjadi pembicaraan masyarakat. Orang-orang yang mendatangi para fuqaha untuk menanyakan bagaimana dan apa yang semestinya mereka lakukan? Sebagian ulama menyarankan agar memotong tangan perempuan itu dan menguburnya (tangan yang terpotong) bersama mayit agar kehormatan mayit tetap terpelihara. Sebagian yang lain mengemukakan pendapat supaya bagian dari kemaluan (vagina) jenazah perempuan itu yang dipotong. Karena orang yang hidup lebih terhormat daripada orang yang telah mati. Namun ada juga yang berpendapat lain.

Kemudian, mereka mengutus seseorang untuk bertanya kepada Imam Malik tentang kasus ini. Setelah dijelaskan duduk persoalannya secara jelas, maka Imam Malik menyuruh agar perempuan itu dicambuk 80 kali karena ia telah menuduh zina terhadap orang lain (qadzaf). Setelah had qadzaf (hukuman cambuk karena menuduh zina) dilaksanakan atas perempuan yang biasa memandikan mayat tersebut, maka ia pun dapat mengangkat tangannya kembali, lepas dari badan si mayit.

Sejak itu, terkenallah ungkapan, “Tidak ada yang berfatwa di Madinah selama ada Imam Malik.”

(Syaikh Muhammad Khubairi, “Kecerdasan Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa”, hal 109-110)

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on Agustus 21, 2014 by in Kisah Hikmah, Tokoh and tagged , , , , .

Berteman di medsos

TwitterFacebook