Airell Tufliado

Menulis, upaya untuk meninggalkan dunia

Jawaban Ustadz: Orang Tua yang Kafir Meninggal

source: hanifmusyaffa.blogspot.com

ilustrasi majelis ilmu

Seorang perempuan bertanya kepada ustadz di majelis ilmu :

“Assalamu’alaykum wr wb.. *disaut oleh semuanya dengan ucapan wa’alaykum salam wr wb*

Terima kasih sebelumnya kepada MC atas kesempatan tanya jawabnya.. Ustadz, saya mau bertanya.. Saya seorang muallaf, dibesarkan dari orang tua ————- (baca: non-muslim), *mulai sesegukan dan menangis* hingga meninggalnya masih belum masuk Islam..

*menunggu beberapa detik hingga sesegukannya reda* Apakah saya bisa bertemu mereka di Surga, ustadz?

*ia menangis kembali* Atau apa yang harus saya lakukan agar orang tua saya masuk surga? Terima kasih, ustadz..”


Selang beberapa detik kemudian setelah menghela napas dan terlihat sedikit berpikir, ustadznya menjawab:

Jama’ah semua yang dirahmati Allah… Kita hidup ibarat merantau sendirian. Dalam perjalanan merantau pasti ada tujuannya, yaitu kota besar impian kita. Terkadang kita melewati satu-dua kota besar lain untuk sampai ke kota tujuan. Karena perjalanan cukup panjang, maka kita perlu mencari, mengisi kembali bekal-bekal di sepanjang jalan..

Ada orang yang ketika sampai di satu kota, kemudian dia cari penghasilan untuk ongkos perjalanan. Setelah ongkos didapat, bisa jadi ia bertemu dengan orang susah juga di sana, lalu dia bersedekah. Bisa jadi juga ia ketemu perantau lain, lalu dia ajak merantau bersama-sama. Namun intinya dia tetap ingat bahwa ia harus kembali melakukan perjalanan. Apalagi ia sadar adanya deadline atau umur, sehingga segera ia bergegas menuju kota perantauan. Berulang-ulang mencari perbekalan di kota-kota transit dan terus berjalan hingga akhirnya ia sampai ke kota tujuan. Kemudian hidup berkeluarga di sana sampai wafatnya… Ini orang yang pertama.

Namun ada pula orang kedua, setelah mendapat penghasilan, ia tergoda dengan besarnya penghasilan yang ia dapatkan. Atau mungkin dia tergoda saat melihat sebuah keluarga miskin, ia membantunya (bersedekah kepada keluarga itu) dan terpikat dengan anak gadis di keluarga itu. Atau ia tergoda ketika bertemu janda kaya raya. Akhirnya ia berkeluarga dan hidup menetap di kota transitnya. Sampai akhir hayatnya ia tidak sampai ke kota tujuan.

Ada juga orang ketiga yang susah mencari penghasilan di kota transit. Lalu ia menghalalkan segala cara (yang haram). Ia tergoda dengan mudahnya dan besarnya hasil uang haram tersebut hingga ia terus menjalankan bisnis haram di kota transit. Atau bisa jadi ia malah masuk penjara karena tertangkap ketika melakukan perbuatan yang haram itu. Hingga akhir hayatnya ia menetap di kota transit dan tak sampai ke kota tujuan perantauan.

Mungkin seperti itulah hidup. Dan kita, insya Allah, seperti orang yang pertama. Ingat pada tujuan dan tetap berjalan menujunya. Semoga Allah jaga keistiqamahan perjalanan kita… Dan bisa jadi orang yang kita cintai seperti orang yang kedua. Baik, namun lupa dengan tempat tujuannya… Dan ada pula orang yang ketiga yang buruk.

Lalu bila ada orang yang kita cintai namun ia termasuk orang yang kedua, tentu kita tidak bisa bertemu  dengannya di surga Allah nanti. Sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)

Bahkan kita pun tidak boleh mendoakannya (memohon kepada Allah agar mengampuninya atau menempatkannya di surga). Allah swt berfirman: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Nabi-nabi yang ibu dan ayahnya tidak mendapat hidayah hingga wafatnya pun juga. Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim,, dan lain-lain… Tapi Allah telah mengajarkan kita lewat lisan Nabi Ibrahim ketika berdoa: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau…” (QS. Al-Baqarah: 128)

Bentuk syukur kita terhadap hidayah Allah, atau bahkan bentuk penghormatan terhadap orang tua kita yang wafat sebelum mendapat hidayah yaitu dengan berdoa kepada Allah, berdoa kepada Allah agar menjaga kita dan anak cucu kita dalam hidayah-Nya… Mudah-mudahan kita dapat menghormati orang yang kita cintai dengan menjaga hidayah pada diri dan keluarga kita…

*kisah fiktif, terinspirasi oleh video tanya jawab ustadz Zakir Naik di bawah ini

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on November 12, 2014 by in Fiksi, Kisah Hikmah and tagged , , , , , .

Berteman di medsos

TwitterFacebook